"Seorang Muslim, harus sama baiknya antara membaca dan menulis"
(Hasan Al-Bana)

Rabu, 23 Desember 2009

Sebentuk CINTA seorang MAMA...


Di suatu pagi...
Mataku terheran-heran pada sosok perempuan paruh baya memakai topi, berkaos merah, celana panjang krem dan berspatu sport, berdiri disudut kota berjejer dengan becak-becak. Kufikir ia hendak memesan becak untuk pergi kepasar. Dahiku mulai mengkerut saat melihatnya menaikan penumpang, ah... rupanya ia seorang penarik becakkah? Aku terkejut, apa iya zaman sekarang ada penarik becak perempuan? Alasan apa ia menarik becak? Banyak pertanyaan yang terbesit difikiranku.

Tak lama kulihat wanita paruh baya itu kembali ke tempat penarikan becak, terlihat ia sedang mengibas-ngibas wajahnya dengan topi yang dipakainya. Kuhampiri wanita itu karna terlihat tidak terlalu sibuk sepertinya.
Kucoba untuk menyapanya dan beberapa saat terjadi perbincangan antara kami.

“Bu, sudah lama narik becak?” sapaku sambil menyeruput teh manis panas yang dipesan di warung tempat istirahatnya para penarik becak.
“Sudah hampir 3 tahun Neng...” jawab wanita itu sambil mengunyah pisang goreng.
“Maaf bu kenalkan saya Sofie, nama ibu?” sapaku sambil mengulurkan tangan.
“Oh... ya, saya Marni Neng” jawab perempuan itu.
“Maaf bu, boleh saya tau kenapa ibu narik becak?”
“Yah... Neng buat nyambung hidup, biaya sekolah anak sekarang enggak murah, anak saya harus lulus sekolah Neng, saya tidak mau anak saya sama nasibnya kayak ibunya ini,”
“Memang anak ibu ada berapa?” tanyaku lagi.
“Anak saya 3 Neng, anak pertama saya sudah bekerja bantu-bantu di toko lumayanlah dia anak soleh mau bantu biaya adik-adiknya sekolah, anak kedua saya masih sekolah SMA kelas 3 sebentar lagi lulus sekolahnya, yang bontot masih SMP kelas 2 Neng,” dengan mengalir ia menceritakan.

“Oh... trus bapaknya Bu?”
“Bapaknya 3 tahun lalu minggat dari rumah, menurut kabar terakhir dari temennya dia kawin lagi sama janda kembang di RW sebelah, gak kuat kali neng hdup kita miskin terus heee...” sambil tertawa geli perempuan itu bercerita terlihat jelas tawanya menyembunyikan kesedihan yang selama ini terpendam. Tak lama kemudian iapun meneruskkan ceritanya.
“Dulu hidup kita enak Neng bapaknya kerja jadi mandor tapi keburu kepincut sama tu jande Neng...” dengan logat betawinya dia bertutur.
“Terus Ibu gak nyari kerjaan yang lain selain narik becak?” tanyaku dengan rasa penasaranku akan kehidupan perempuan ini terus bercokol.
“Udah neng... ya Ibu kalo dah cape narik becak, pulang ke rumah sambil ngerjain kerjaan laen... nyuci dan setrika baju tetangga Neng, kalo gak gitu dari mana saya bisa ngasih anak-anak saya makan Neng... upah narik becak belum cukup buat makan seminggu” sambil meluapkan isi hatinya perempuan itu bertutur.

“Maaf bu saya terlalu lancang tanya-tanya soal kehidupan Ibu...” sambil menundukan kepala aku meminta maaf.
“Ah gak apa-apa Neng...”
“Permisi neng saya harus narik lagi..” sambil berlalu ia pergi.
“Oh... silahkan bu.”
***
Ehm... ironis memang kehidupan ini kadang keinginan tak sesuai dengan realita. Seperti halnya Marni, perempuan seusianya banyak menghabiskan waktu dengan shooping, arisan , jalan-jalan ke mall dll, ah... beda sekali dengan wanita ini dia harus bekerja keras banting tulang, bekerja dari pagi buta sampai petang merayap. Tak kenal lelah ia terus mengayuh becaknya untuk memngantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan yang diinginkan. Membawa penumpang sampai tempat tujuan adalah sebuah kegembiraan untuknya, karena darinya ia akan mendapatkan upah untuk bekal yang akan dibawa kerumah supaya anak-anaknya bisa bertahan dalam memperjuangkan cita-citanya.

Memperjuangkan anak agar tetap sekolah, mungkin itu sepertinya biasa saja, tapi tidak bagi Marni hal tersebut sesuatu hal besar yang harus ia perjuangkan, keringat bercucuran tanda nyata seorang perempuan yang berperan sebagai IBU untuk anaknya, bukti cinta seoang Ibu yang tak pernah padam dimakan zaman. Tak kenal lelah untuk terus berjuang demi buah hatinya. Ah... Ibu... Ibu... kasih ibu memang tiada terhingga...


“Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia...”


NB: Tulisan ini didedikasikan untuk seorang Mama yang selalu memberikan cinta sepenuh hati untuk buah hati tercinta.

SELAMAT HARI IBU 22 Desember 2009

TENTANG PERFECT

“Okta, nyanyiin kakak satu lagu donk,” pinta Asti sambil berjalan menuju rumahnya melewati rumah Okta persis didepan rumahnya.
“Ih kakak… ngagetin aja, apa? Nyanyi? Ye… kakak kayak anak kecil neh… mau dinyanyiin lagu apa kakakku sayang he he he….,” jawab Okta dengan menantang sambil memuji.
“Emm… apa aja dech, yang enak-enak lagunya, yang penting Okta yang nyanyi he he he he,” Tawa Asti sambil merayu.
Oke dech… nanti aku nyanyiin plus catetin syairnya,” jawab Okta memenuhi permintaan Asti.
“Oke dech…ditunggu lho...,” Jawab Asti menanggapi.
“Siiiiip…,” Okta menyetujui sambil menunjukan jempolnya.

Okta: Gadis remaja kelas tiga SMP berperawakan mungil, parasnya yang cantik, imut dan selalu ceria. Tinggal tepat di depan rumah Asti. Di Sore beberapa hari yang lalu Okta mengingatkan Asti akan janjinya memberikan sekaligus menyanyikan syair lagu yang Asti pinta. Asti memintanya karena setiap hari Asti memndengarkan suara merdunya Okta menyanyikan lagu favorit Asti. Selain itu juga karena Okta memang anggota ekstrakulikuler vocal disekolahnya.
***

Sepulangnya Asti dari tempat kerja, Okta menyapanya sebelum Asti nmasuk rumah.
“Kak… tuh catetan lagunya dah aku tulis, aku titip lewat Mbo Sumi di rumah, pokoe lagunya aku pilih yang bagus buat kakak dech...,” jelas Okta dengan gaya cerewetnya.
Lagu siapa ta?” tanya Asti.
“Lagunya “Simple Plan” judulnya PERFECT, bagus lho ka…,” Okta menjelaskan dengan semangat.
“Oke dech, makasih ya ta…,”
“Yoyoi..”

Saat Asti memasuki kamar jelas pandangan matanya tertuju pada secarik kertas terlipat rapi layaknya kiriman surat cinta he he... kertas itu dari Okta”. Asti melihat syairnya dan menyanyikannya walaupun dengan nada fals dan lupa-lupa ingat. Ada beberapa bait yang membuatnya terhanyut dalam lamunan lalu terdiam:

And now i try hard to make it
I just want to make you proud
I’m never gonna be good enaught for you
Can prented that i’m alright
And you can change me

Coz we lose it all
Nothing last forever
I’m sorry i can’t be perfect
Now it just to late and we can’t go back
I’m sorry i can’t be perfect


Pada bait ini menjelaskan bahwa yang terbaik seorang anak yang mencoba berbuat agar ayahnya bangga. Dan pada bait kedua menerangkan bahwa anak ini meminta maaf karena tidak bisa sempurna seperti apa yang diinginkan ayahnya.
***

Emm... berbicara tentang perfect alias sempurna. Apa? Siapa? Yang seharusnya sempurna? Sebagai makhlukNya kita memang tidak pernah diciptakan sempurna. Yang sempurna hanyalah Dia yang Maha sempurna. Dialah Allah, diantara makhlukNya, manusialah yang paling sempurna dan mulia diciptakan. Sempurnanya manusia masih terlalu jauh maknanya dengan sempurnanya yang Maha sempurna, bahkan tidak dapat dibandingkan kesempurnaanNya. Seperti dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 :

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia...”

Setiap manusia bisa dikatakan “Sempurna” jika mengetahui ketidak sempurnaannya dan saling melengkapi antara ketidak sempurnaannya. Manusia sempuna karena memiliki akal untuk berfikir, dengan berfikir akan timbul rasa saling membutuhkan satu sama lainnya. Merasa butuh dan saling melengkapi adalah kesempurnaannya manusia. Allah sempurna karena Allah yang memiliki dunia beserta isinya termasuk manusia. “Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi maka terjadilah ‘Kun Fayakun’”. Segala sesuatu bergantung padaNya termasuk manusia yang selalu bergantung padaNya, tak henti setiap tarikan nafas dan detak jantung manusia semua adalah kehendakNya.

Maka, kepada yang Maha Sempurnalah kita memohon kesempurnaan manusia itu sendiri. Semoga kita menjadi hamba yang sempurna dalam menghambaNya. Amien.
***

Ups... sesaat Asti terdiam dan menyunggingkan guratan senyum simpulnya setelah melihat bait syair lagu yang dikirim Okta...

Jumat, 20 November 2009

Ah… Bapak…


“Baru saja berakhir…
Hujan di sore itu
Menyisakan keajaiban
Indahnya kilauan pelangi”


Emmm… suara berisik yang membangunkan tidurku itu lagu “Sahabat kecil” yang dinyanyikan Ipank pada sountrack film “Laskar Pelangi” ternyata ringtone Hand Phone (Hp) ku yang berdering. Tepat di bawah bantalku. Ku rogoh Hpku dan kulihat dengan mata yang masih terkantuk-kantuk. O… disana terdaftar nama “My Father”. Mataku semakin terbelalak setelah melihat jam tepat pukul. 03:00 dini hari.

“Lho… kenapa Bapak jam segini nelfon ya…” gumam dalam hati.
“Hallo… Assalamu’alaikum Pak” Jawabku dengan suara serak, terdengar jelas aku yang baru terbangun dari tidur.
“wa’alaikum salam… anakku yang cantik, pinter, bangun ayo tahajud…” Sapa Bapakku di ujung telfon.
“He he… iya Pak” Aku menjawab dengan nada lemas yang masih terkantuk-kantuk.
”Jam segini ko masih tidur, ayo tahajud nak!!!! Banyak-banyak berdo’a supaya dilancarkan kariernya, didekatkan jodohnya” Bapakku memberi saran.
“He… Iya pak… Ok Ok!!!” Aku menyetujuinya sambil mengangkat dahiku yang sebenarnya malas untuk tahajud he he he, ngantuk adalah alasan utama.
Tapi Bapakku tetap saja merajuk supaya aku bangun dari tidurku.

“Ayo cepat ke kamar mandi ambil wudlu, tahajud ya nak!!!” Perintah bapakku.
“ Iya pak…” Jawabku.
“Ya sudah cepat shalat ya, Assalamu’alaikum” Bapakku mengakhiri obrolannya.
“wa’alaikum salam” Jawabku sambil kutekan tombol merah Hpku untuk mengakhiri obrolan.
***

Emmm… Bapak, bapak… aku jadi kangen sama bapakku. Bapakku asli orang Jawa. Purwokerto. Berwatak keras dan gigih dalam bekerja. Sejak muda bapakku merantau ke kota Priangan. Bandung. Mendapatkan jodoh orang Priangan juga. Tahun 1982 memulai kariernya di Bandung sampai medapatkan 5 putri, putri pertama ya aku ini.

Tahun 2008 karier bapakku terhenti alias di PHK. Ya maklumlah berkarier di pabrikan mau tidak mau harus terima PHK-an. 3 bulan mengangur (alhamdulillah mengangur Cuma 3 bulan), ternyata skill bapak di bidang mesin rajut masih ada yang membutuhkan. Tepat di bulan Desember 2008 bapak dapat panggilan kerja di perusahaan yang membuat kain khusus boneka di Serang Banten. Tanpa fikir panjang bapak langsung menerima panggilan kerja tersebut, karena yang selama ini bapak khawatirkan mengenai Ijazah untuk melamar pekerjaan sangat dibutuhkan. Sedangkan bapakku? Jangankan Ijazah S1, Ijazah SMP saja tidak punya. Maklumlah dulu bapak Cuma tamatan sekolah SR (Sekolah Rakyat).

Bapakku sering bilang:
“Pendidikan boleh tamatan SR… tapi otak harus otak S1 tho…”
“Badan boleh made in Indonesia tapi otak? harus otak Jerman donk ha ha ha…” dengan logat Jawanya yang medok dan Pedenya, begitulah bapakku dengan nada sindiran menyemangati anak-anaknya setiap pertemuan rutin keluarga, dan selalu begitu juga bapakku menyindir sambil bergurau.

Kata-kata itupun selalu menjadi andalan bapak untuk menyemangati putri-putrinya supaya terus semangat untuk melanjutkan studi. Mengingat bapakku yang hanya tamatan SR dan bercita-cita menyekolahkan anak-anaknya minimal sampai lulus S1.

Ah… bapak meski usia merayap senja tapi bapakku ini ya tetep guanteng he he… kini bapakku bekerja di Serang Banten jauh dari rumah, hanya alat komunikasi hp yang memudahkan kami berkomunikasi sehinnga satu sama lainnya mengetahui kegiatan masing-masing anggota keluarga kapan saja dibutuhkan.

Ah… Bapak My Beloved father…
Ah… Bapak aku kangen pak…

Mungkin lebaran haji nanti kita bersua di rumah…


Nb: Tulisan ini buat my beloved bapakku wong Jowo "Dartam Suradji"

Sabtu, 07 November 2009

Kabar "MOMOYE" dari Asrama Telawang


Wanita senja itu bernama Mardiyem, kini ia mulai membuka hatinya pada wartawan yang ingin mencari berita tentang sejarah Jugun Ianfu (budak seks) 64 tahun silam. Pada awalnya Mardiyem enggan untuk menceritakan apa yang terjadi saat ia dan teman-teman yang lainnya (3 angkatan Jugun Ianfu) menjadi penghuni asrama Telawang sejak tahun 1942-1945 pada masa penjajahan Jepang dalam perang Dunia II terjadi. Kulit keriput namun berparas ayu menunjukkan usianya yang senja dan tubuh yang renta berbalut kebaya dari kain jarik khas jawa itu sesaat menghela nafas, lalu matanya berkaca-kaca saat menceritakan apa yang terjadi selama menjadi penghuni asrama Telawang. Ia merasakan kepedihan yang sangat mendalam, kepedihannya mewakili perasaan para Jugun Ianfu.

Saat itu Mardiyem berusia 13 tahun. Sepeninggalan ayahnya ia memutuskan pergi dari rumahnya di Yogyakarta ke Borneo untuk bekerja, ia bertekad untuk tidak menjadi beban kakak-kakaknya yang kehidupannyapun sangat sulit. Dan pada saat itu ia mendapat tawaran bernyanyi di Borneo. Tanpa fikir panjang ia menerima tawaran tersebut. Bukan hanya Mardiyem yang akan bekerja di Borneo, ternyata ia pergi bersama rombongan perempuan lainnya dari berbagai daerah.

Sebelum diberangkatkan ke Borneo rombongan dibawa ke kampung Penembahan Yogyakarta dan ditempatkan ke sebuah klinik, kemudian rombonganpun satu persatu diperiksakan kesehatannya oleh dokter. Didalam klinik tersebut terdapat seorang Dokter dan seorang asisten, dan satu orang Jepang pada saat itu Mardiyem mulai curiga dan merasakan adanya keanehan. Setelah sampainya di Borneo Mardiyem merasakan firasat buruk akan terjadi, kemudian Mardiyem dan rombongan ditempatkan di sebuah bangunan yang cukup tertata rapi, disana banyak orang Indonesia yang tampaknya berperan sebagai petugas atau pekerja. Bangunan itu bernama Asrama Telawang. Selain banyak orang Indonesia ternyata disana juga orang banyak Jepang. Mardiyem dan rombongan teman-teman yang lainya di tempatkan disetiap kamar berukuran 3m x 2,5 m, dan setiap pintu kamar terdapat nomor yang berurutan sesuai dengan banyaknya kamar dari nomor 1 sampai nomor 24. Saat itu Mardiyem menempati kamar 11.

Firasat buruk itu mulai terbukti, Mardiyem dan teman-teman yang lainnya merasa akan dijadikan “perempuan nakal”, kekecewaan menggelayuti hati mereka saat itu, padahal pada awal keberangkatan dari Yogyakarta menuju Borneo Mardiyem dan teman-teman yang lainnya membawa banyak harapan dan impian, rela meninggalkan rumah demi mendapatkan kehidupan yang layak untuk keluarga dikampungnya. Mardiyem berharap menjadi penyanyi di Borneo sesuai dengan tawaran yang dijanjikan Zus Lentji (ia seorang perempuan yang dikenal Mardiyem melalui Mbak Soerip) dengan rasa berat hati Mardiyem pasrah terhadap apa yang terjadi. Bukannya tidak ada pemberontakan untuk keluar dari asrama itu, akan tetapi asrama Telawang dijaga dengan ketat dan diawasi oleh para Jongos (pesuruh) Cikada, dari mulai gerbang utama sampai kamar-kamar yang mereka tempati. Pada hari liburpun biasanya mereka pergi berbelanja dengan dikawali para jongos cikada. Tak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diridari asrama ini.
Asrama telawang dikelola oleh orang jepang bernama Cikada. Dia yang mengatur segala keperluan penghuni asarama Telawang, dibantu dengan para Jongos-nya dari mulai mengatur kesejahteraan para pegawai dan kesejahteraan para Jugun Ianfu, ia juga mengatur keluar dan masuknya para tentara Jepang yang ingin melampiaskan hawa nafsunya di asrama Telawang pada gadis-gadis yang telah ditempatkan di setiap kamar. Para tentara Jepang memesan nama dan nomor kamar yang tertera di papan dengan tulisan Jepang di ruang karcis asrama Telawang, nama yang tertera di papan tersebut berikut dengan nomor kamarnya adalah para Jugun Ianfu yang sehat dan siap untuk melayani seks mereka, kemudian mereka diberikan karcis untuk masuk kamar sesuai dengan nomor kamar yang telah dipesan dan ditambah 2 Kaputjes untuk 1x masuk kamar.

Sejak menempati asrama Telawang nama Mardiyem berubah menjadi “MOMOYE”. Saat itu nama Momoye yang berparas hitam manis dibalut dengan kebaya dari bahan kain jarik khas jawa nampak lebih ayu menjadi sorotan para tentara Jepang, dan tidak aneh seluruh penghuni asrama telawang mengenali MOMOYE. Walaupun Momoye melayani nafsu para tentara Jepang setiap harinya, tapi Momoye selalu merawat tubuhnya terutama merawat kelaminnya dengan minum jamu agar tidak terserang penyakit kelamin tau penyakit wanita yang diberikan oleh ibu angkat Momoye, namanya ibu Nur. yang berbaik hati pada Momoye dengan sembunyi-sembunyi.

Setiap harinya Momoye dan teman-teman yang lainnya mendapat perlakuan kasar dari para tentara Jepang yang ingin memuaskan nafsunya dengan para Jugun Ianfu. Yang sering memperlakukan kasar saat berhubungan intim adalah tentara Jepang yang berpangkat rendah yang baru datang dari pertempuran atau baru pulang dari patroli, karena usia mereka rata-rata masih muda sedangkan yang berpangkat tinggi atau sipil tidak berlaku kasar. Para tentara yang datang ke asrama Telawang adalah sebagai tamu. Dan tamu yang datang tidak sembarangan diizinkan untuk masuk ke kamar-kamar. Jam kunjungan berlaku di asrama tersebut, adapun jam tamu siang hari pada pukul 12.00–17.00 khusus untuk serdadu pangkat rendah Jepang dengan karcis seharga 2,5 Yen. Dan jam tamu sore hari pukul 17.00–24.00 khusus untuk orang sipil Jepang dengan harga krarcis 3,5 yen. Sedangkan Mulai pukul 24.00 sampai pagi dikenakan karcis seharga 12,5 Yen. Pada jam tersebut biasanya dipakai oleh serdadu Jepang berpangkat perwira.

Momoye pernah mengalami pengguguran paksa terhadap kandungannya, selama melayani seks para tamu tentara Jepang, mereka menggunakan Kaputjes, hanya satu tamu tetap Momoye yang tidak mggunakan kaputjes yaitu Yamauchi. Yamauchiadalah laki-laki pertama yang menyatakan cinta pada momoye. Dari hasil hubungannya tanpa diduga akhirnya Momoye hamil, awalnya berita ini ditutupi agar tidak diketahui Cikada namun akhirnya sampai juga ke telinga Cikada. Momoye disarankan meminum obat penggugur kandungan, namun setelah satu minggu berlalu bayi dalam kandungan Momoye tidak mau keluar, Cikadapun memutuskan untuk membawa Momoye ke Rumah Sakit Ulin untuk dioperasi karena kehamilannya sudah menginjak 5 bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setelah perut Momoye diplenet atau ditekan paksa, seluruh badannya sakit dan lemas. Momoye merasa sangat berdosa karena tidak bisa mempertahankan darah daging sendiri. Yamauchi sempat menengok Momoye di rumah Sakit Ulin, dia meminta maaf karena membuatnya menderita dengan kehamilannya. Karena Yamaucilah penyebab Momoye hamil dan digugurkan paksa. Yamauchi memang meninginkan Momoye hamil agar Momoye bisa dikeluarkan dari asrama Telawang, sehingga Momoye dan Yamauchi bisa menikah dan hidup bersama. Itulah alasan Yamauchi jarang menggunakan Kapotjes saat berhubungan seks dengan alasan kurang nikmat.

Pada tahun 1945 Jepang kalah. Di beberapa bulan pada tahun 1945, sering terdengar bunyi bom berjatuhan di sekitar asrama. Situasi makin gawat. Bom dijatuhkan dimana-mana, Cikada dan orang-orang Jepang lainnya menghilang. Akhirnya Momoye memutuskan untuk mengungsi ke Kapuas. Disana Momoye bertemu dengan Amat Mingun. Amat Mingun adalah laki-laki yang selama ini menaruh hati pada Momoye sejak berada di asrama telawang. Saat itu Amat mingun bertugas mengantarkan sayuran ke asrama Telawang untukkebutuhan penghuni asrama Telawang. Amat Mingun melamar Momoye berkali-kali namun Momoye menolaknya. Momoye mati rasa setelah ia mengalami trauma di asrama Telawang. Pada tahun 1946, akhirnya Momoye memutuskan untuk menrima lamaran amat mingun kemudian menikah, meskipun tidak ada perasaan cinta yang tersisa, semuanya telah hancur di Asrama Telawang. Momoye tidak mencari cinta yang ada hanya butuh kasih sayang dan perlndungan. Pernikahannya dengan Amat Mingun dikaruniai satu anak lelaki bernama “Mardiyono”.

Pada tahun 1953 Momoye dan keluarga kembali pulang ke Yogyakarta. Di Yogyakarta nama Mardiyem bukanlah Momoye lagi, akan tetapi para tetangga yang mengenal Mardiyem memanggilnya dengan sebutan Mak Inun. Sebetulnya nama Mardiyem di kampung adalah Mak Mingun, tetapi Mardiyono kecil tidakbisa memanggil nama Mak Mingun dengan jelas. Jadi yang terdengar hanya Mak Inun… Mak Inun… dan semua tetangga memanggilnya Mak inun.

Pada tahun 1993 Mardiyem memutuskan untuk mendaftar sebagai perempuan korban Jepang di LBH Yogyakarta. Sejak saat itu masalah mulai berdatangan. Ketika masyarakat tahu bahwa Mardiyem adalah salah satu wanita pemuas seks para tentara Jepang (Ransum Jepang) mereka mulai mencibir, mengejek, menjauhi Mardiyem dalam pergaulannya. Sejak saat itu juga keahliannya dalam memasak pada setiap acara tidak pernah diberikan upah bahkan tidak jarang untuk menggunakan jasanya lagi, sampai Mardiyem kehilangan pekerjaannya. Hal itu membuatnya sangat menderita.

Penghinaan demi penghinaan ia lewati sampai tahun 2000. suatu ketika dalam sebuah acara kemerdekaan panitia acara tersebut memintanya utuk menceritakan yang sebenarnya terjadi dan dialami pada zaman penjajahan Jepang dalam Perang dunia II. Saat itu Mardiyem bersedia. Pada pertemuan tersebut Mardiyem mengatakan “Jangan mencapku sebagai “Orang nakal” atau “Pelacur”. Aku adalah korban jepang. Pada waktu zaman Jepang tidak ada pilihan lain bagi para remaja selain menjadi ransum Jepang atau romusha”. Maka setelah pernyataan Mardiyem diceritakan, Masyarakat mulai berubah, tidak lagi banyak yang mengejek dan menjauhinya, keadaanpun mulai membaik.

Pada tahun 2007 tepatnya tanggal 20 Desember pukul 22:30 WIB, pejuang hak dan mantan “Jugun Ianfu” ini meninggal dunia karena sakit dikediamannya Suryotaruman Yogyakarta. Jugun Ianfu adalah salah satu kepahitan sejarah yang lama terlupakan. Bahkan mungkin tidak akan pernah terungkap jika Mardiyem tidak ingin menceritakan semuanya yang terjadi.

Inilah salah satu potret kehidupan korban penjajahan Jepang dalam Perang Dunia II. Ini adalah BUKTI SEJARAH dan tidak boleh dilupakan, karena kita adalah bagian dari sejarah itu sendiri.

By:
Novianti Suradji, S.S




NB:
Tulisan ini didekasikan untuk semangat para perempuan yang tak pernah lelah berjuang dalam menjalani perannya sebagai “PEREMPUAN”.

Resensi Buku



Judul Buku : MOMOYE Mereka Memanggilku; Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia.
Penulis : Eka Hindra dan Koichi Kimura
Editor : Esthi Damayanti & Theresia Vini S
Penerbit : Esebnsi Erlangga Group, Jakarta
Cetakan : Kedua, Tahun 2007
Tebal : 324 Halaman

MOMOYE alias Mardiyem (mantan Jugun Ianfu Indonesia) adalah salah satu korban penjajahan Jepang pada Perang Dunia II. Kesedihannya saat menjadi ransum (makanan) Jepang masih saja terbayang-bayang dalam fikirannya. Hal itu yang menyebabkan Mardiyem terus mencari keadilan pada Pemerintah Jepang sampai akhir hayatnya.
Menjadi Jugun Ianfu bukanlah cita-cita yang diinginkan Mardiyem, bahkan jauh dalam fikirannya Mardiyem tidak pernah terlintas untuk menjadi Jugun Ianfu. Secara harfiah “Jugun Ianfu” berarti: Ju= Ikut, Gun= Militer/balatentara, Ian= Penghibur, dan Fu= Perempuan. Jugun Ianfu merupakan istilah halus untuk para perempuan-perempuan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks yang ditempatkan dibarak-barak militer atau bangunan yang dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik.

Awal perjalanan Mardiyem menjadi Jugun Ianfu pada tahun 1942, saat itu umurnya 13 tahun. Ia memutuskan pergi dari Yogyakarta untuk bekerja di Borneo sepeninggalan ayahnya. Kepergiannya ke Borneo adalah awal penderitaannya. Menjadi pemain sandiwara, itulah cita-citanya. Melalui Zus Lentji Mardiyem mendapatkan tawaran untuk menjadi pemain sandiwara. Namun harapan hanyalah tinggal harapan. Sesampainya di Borneo Mardiyem bukan dijadikan pemain sandiwara, bahkan tidak sesuai dengan yang ditawarkan Zus Lentji. Mardiyem dan para Jugun Ianfu lainnya menjadi ransum Jepang melayani kebutuhan seks para militer Jepang di asrama Telawang.

Para Jugun Ianfu melayani kebutuhan seks mereka setiap harinya, dan setiap orang ‘Jugun Ianfu” melayani 6 atau 8 orang tentara Jepang, jika meraka tidak mau melayaninya maka siksaanlah yang akan didapatnya dari pengelola asrama Telawang bernama Cikada. Penderitaan ini berlangsung selama 4 tahun 1942-1945.
Nama Mardiyem selama menjadi penghuni asrama Telawang berubah menjadi MOMOYE, mulai saat itu penghuni asrama memanggilnya MOMOYE, dan nama Mardiyem hilang ditelan asrama Telawang.

Setelah Jepang kalah, aktifitas di asrama Telawang tidak begitu ramai seperti biasanya, orang Jepang mulai hilang dan tidak pernah datang ke asrama telawang. Mardiyempun pergi dari asrama Telawang menuju Kapuas disana mardiyem bertemu dengan Amat Mingun yang menjadi suaminya, dari pernikahannya melahirkan 1 orang anak lelaki bernama Mardiyono. Kemudian Mardiyem dan sekeluarga kembali pulang ke yogyakarta.

Pada tahun 1993 Mardiyem mendaftarkan diri ke LBH Yogyakarta sebagai perempuan korban penjajahan Jepang. Sejak saat itu masyarakat tahu tentang masa lalu Mardiyem dan tak jarang masyarakat banyak yang menjauhi, mengejek, dan menghinanya. Penghinaan demi penghinaan ia lewati sampai tahun 2000, Mardiyem menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada para Jugun Ianfu saat penjajahan Jepang dalam sebuah acara kemerdekaan yang diminta oleh panitia acara tersebut. Setelah Mardiyem menceritakan semuanya, masyarakatpun akhirnya mengetahui apa yang terjadi pada Mardiyem dan para Jugun Ianfu lainnya. Masyarakat mulai berubah sikap dan sejak saat itu keadaanpun mulai membaik.

Buku ini secara gamblang menceritakan sejarah Jugun Ianfu korban penjajahan Jepang dalam perang dunia II pada tahun 1942-1945. Melalui penuturan Mardiyem (salah satu mantan Jugun Ianfu) ia menceritakan masa lalunya sebagai penghuni asrama Telawang. Dari mulai masa kecil seorang Mardiyem, keberangkatannya menuju Borneo, kehidupannya di asrama Telawang, dan sampai pada pencarian keadilan para jugun Ianfu. Buku ini benar-benar lengkap memaparkan informasi kejadian dengan didukung gambar dan foto-foto dari narasumber yang bersangkutan.

Namun pada akhir buku ini tidak menceritakan secara utuh akhir dari perjalanan Mardiyem dalam mencari keadilan. Pada bab akhir buku ini dilengkapi pemaparan penulis tentang asal-usul pendirian sistem Jugun Ianfu.

Buku ini sangat membantu para pembaca yang tidak mengetahui sama sekali informasi tentang Jugun Ianfu. Atau bahkan menjadi referen tambahan bagi yang ingin mengetahui sejarah penjajahan Jepang pada perang Dunia II. Dan kemunculan buku ini patut diacung-i jempol dan dihargai sebagai referen tambahan dan menu wajib bacaan bagi para Nasionalis atau terutama bagi para perempuan yang tetap semangat memperjuangkan haknya sebagai perempuan.

Sejarah bukan untuk dilupakan karena kita lahir dan hidup dari sejarah itu sendiri.

By:
Novianti Suradji (vhie_suradji@yahoo.co.id)

Sabtu, 08 Agustus 2009

Pujangga itu tiada...

SLAMAT JALAN
“SI BURUNG MERAK”


Jum’at Siang, 7/8/2009
By: Vhie


Kini kau tiada
Kini kau tak lagi berdiri tegak
Kini kau hilang dalam pandangan
Kini kau tak bersama
Kini kau dalam pusara
Pekik garangmu tak terdengar lagi
Kehadiranmu tak akan ada lagi
Namun semangatmu akan tetap selalu terpatri
Innalillahi wa innailaihi rojiun
Tenanglah kau di sana Rendra
Slamat jalan si Burung Merak…





Dia RENDRA…

Jum’at Pagi 7/8/2009
By: Ifiet


Dia memang pergi,
Dia memang tlah tiada,
Dia pulang ke pangkuan-Nya
Namun karyanya tak kan pernah mati
Se- la- ma- nya
Selamat jalan WS Rendra
Semangat jiwamu akan tetap hidup untuk kami…

Minggu, 02 Agustus 2009

Puisi lagi...

USAI...
Minggu, 9 Nov 2008

Sudah ku duga semua hampir usai bahkan berakhir
Ceritanya biasa saja
Berawal dari kesenangan hati
Bagai orang yang mencari barang hilang,
Sulit memang untuk menemukannya
Namun keyakinan hati terus mendorong kepastian untuk menemukannya
Dengan penuh harap asa pun kian mendekat
Namun keraguan tetap bersarang dalam dada
Apakah benar ia yang ku cari selama ini?
Alam menghakimiku dengan tawaan sinis, tapi egoku mengalahkan semuanya dan
Aku terus berjalan untuk mewujudkan semuanya
Tak ku sangka asa pun ku raih, hatiku tetap merasa biasa saja padahal menutupi rasa senangku yang tak ingin berujung kekecewaan.
Hari-hariku pun kini berbeda karna aku tlah temukan apa yang aku cari...
Ku rajut hari-hari dengan penuh cinta, ku rawat dengan kasih sayang
Rasa senang pun ikut hadir dalam helaan nafasku...
***
Rajutan itu hampir sempurna, tak terfikir oleh manusia bahwa semua tak ada yang abadi begitu pula dengan rajutan yang telah ku rawat dan ku simpan dengan baik-baik semua hancur karna ego yang menggunung...
Kini rajutan itu hanya sebuah sampah dan hanya ingatan sekedar
Kurelakan semua menjadi abu dan debu...
Semua usai...



By: Novianti Suradji

Abdullah Gymnastiar dalam renungannya “CERMIN DIRI”

Tatkala kudatangi sebuah cermin
Tampak sesosok wajah yang telah kukenal dan sangat sering kulihat
Namun aneh sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat
Tatkala ku tatap wajah, hatiku bertanya…
Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya, bersinar di surga sana?
Ataukah wajah ini yang akan hangus legam di neraka jahanam?

Tatkala ku tatap mata, nanar hatiku bertanya
Mata inikah yang akan menatap penuh kelezatan dan kerinduan menatap Allah, menatap Rasulullah, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, terburai menatap neraka jahanam? Akankah mata penuh maksiat ini menyelamatkan? Wahai mata… apa gerangan yang kau tatap selama ini?...

Tatkala ku tatap mulut, apakah mulut ini yang kelak akan mendesah penuh kerinduan mengucap
لااله إلاّ الله
Saat sakarotul maut menjemput, ataukah menjadi mulut menganga dengan lidah menjulur dengan lengking jeritan pilu yang akan mencopot sendi-sendi setiap pendengar? ataukah mulut ini menjadi pemakan buah zakun jahanam yang getir penghangus, penghancur setiap usus?
Apakah gerangan yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang? Berapa banyak dusta yang kau ucapkan, berapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Berapa banyak? Berapa banyak kata-kata manis semanis madu yang palsu yang kau ucapkan untuk menipu? Betapa jarang engkau jujur, betapa langkanya engkau syahdu memohon agar Tuhan mengampunimu...

Tatkala ku tatap tubuhku...
Apakah tubuh ini kelak yang akan penuh cahaya bersinar, bersuka cita, bercengkrama di surga? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar? membara terpasung tanpa ampun? derita yang tak pernah berakhir? Wahai tubuh...
Berapa maksiat yang engkau lakukan?
Berapa banyak orang-orang yang kau dzalimi dengan tubuhmu?
Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang kau tindas dengan kekuatanmu?
Berapa banyak beribu pertolongan yang kau acuhkan tanpa peduli padahal kau mampu?
Berapa banyak hak-hak yang kau rampas wahai tubuh? Seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu? Atau sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu? Atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu? Atau sebusuk kotoran-kotoranmu?
Betapa beda apa yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi
Aku telah tertipu...
Aku tertipu oleh topeng...
Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng-topeng belaka
Betapa yang ujian terhambur hanyalah menguji topeng
Betapa yang indah hanyalah topeng
Sedangkan aku hanya seonggok sampah busuk yang terbungkus
Aku tertipu aku malu.... ya Allah
Aku malu...
Tuhanku selamatkan aku...
Ya Rabbii selamatkan aku... Amien ya Rabbal’alamin...




Nb: Dinukil dari intro nasyid “Star 5”

SAYEKTI & HANAFI

Seorang ibu tidak akan pernah rela jika buah hatinya terpisah dari belaiannya, walaupun dalam keadaan susah seorang ibu akan selalu berusaha sekuat tenaga menjaga buah hatinya dengan baik. Seperti perjalanan hidup Sayekti & Hanafi, mereka adalah sepasang suami istri hidup di kota metropolitan -kota Jakarta- yang hidupnya serba pas-pasan, tak berharta, rumah pun tak mewah hidup seadanya. Akan tetapi mereka hidup bahagia dikelilingi temen-temannya dan tetangga yang baik yang sama-sama hidup sederhana dan seadanya tak jauh berbeda keadaannya seperti keadaan Sayekti & Hanafi.
Hanafi seorang tukang becak penghasilan setiap harinya tak seberapa, hanya cukup untuk sekedar makan satu atau dua hari saja, maklum saja zaman sekarang sudah jarang orang menggunakan kendaraan becak, hampir semua penduduk Jakarta berkendaraan motor dan mobil, maka bisa dibayangkan becak sudah jarang yang menggunakannya bahkan tidak ada.
Sayekti seorang wanita berparas ayu dan berkulit hitam manis akan tetapi terlihat kumal karna ia tak pernah berhias, berpakaian sederhana dan walaupun begitu ia adalah seorang wanita pekerja keras, ia bekerja di pagi hari menjadi kurir (tukang angkut-angkut barang dagangan pasar) dari truk-truk besar sampai petang yang penghasilannya juga tak seberapa sama halnya dengan Hanafi.
Dalam keadaan sesulit apapun Sayekti & Hanafi selalu hidup bahagia dan menerima keadaan dengan lapang dada, apalagi mereka kini telah dikaruniai momongan, bayi laki-laki yang dinanti-nantikannya, sang jagoan yang diharapkannya. Sebelum kelahiran anaknya ternyata Tuhan menguji kesabaran hidup mereka. Ketika itu Sayekti sedang mengandung hampir sembilan bulan dan ia hendak pergi ke warung membeli makanan untuk suaminya, dalam perjalanan Sayekti terpeleset dan akhirnya terjatuh. Akibatnya Sayekti mengalami pendarahan. Kemudian warga yang melihat kejadian tersebut langsung membawanya ke rumah bersalin “Asuhan Bunda” di bilangan Jakarta. Alhamdulillah Sayekti melahirkan secara normal. Namun satu sampai lima hari Sayekti masih berada di rumah bersalin, sebenarnya keinginan Sayekti & Hanafi cepat pulang ke rumah dengan membawa bayinya, tapi apa boleh buat biaya persalinannya terhitung dengan jumlah yang banyak Rp. 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah) belum bisa terlunasi, itulah sebab Sayekti dan bayinya tertahan disana.
Hingga suatu hari Sayekti diperbolehkan pulang dengan adanya surat keterangan tidak mampu dari RT setempat, tapi sayangnya bayi Sayekyti tidak boleh dibawa pulang sebagai jaminan biaya persalinan yang belum dilunasinya. Setelah mendapat keringanan dengan surat keterangan tidak mampu tersebut Sayekti berharap dia terbebas dari biaya persalinannya selama 5 hari, tapi keadaan berkata lain Sayekti tetap harus membayar biaya tersebut dengan jumlah Rp. 1.600.000,- (Satu Juta Enam Ratus Ribu Rupiah) walaupun biaya sudah diringankan tetap saja Sayekti & Hanafi tidak bisa membayar biaya persalinan tersebut secara cash. Jangankan uang sebesar itu, untuk makan setiap hari saja mereka harus bekerja keras.
Akhirnya Sayekti diperbolehkan pulang akan tetapi tanpa membawa bayinya, ia pulang dan bertekad dalam hatinya akan bekerja keras demi buah hatinya dirumah bersalin. Hari-harinya kini penuh semangat bekerja keras untuk mendapatkan uang demi buah hatinya.
Suatu hari tersebar berita bahwa anak Sayekti akan diadopsi oleh seorang artis terkenal, Sayekti&Hanafi pun terkejut, mereka bergegas ke rumah bersalin untuk menebus bayinya akan tetapi Tuhan belum berkehendak, ketika akan memasuki rumah bersalin seorang satpam melarangnya masuk dikarenakan jam masuk sudah habis, dengan rasa kecewa Sayekti&Hanafi tidak dapat melihat bayi mereka. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bergegas ke rumah bersalin, ternyata terlambat, dugaan Sayekti benar disana sudah berdiri seorang wanita cantik dan terkenal, memang dia adalah seorang artis yang akan mengadopsi bayi Sayekti, ia dikerumuni wartawan yang sedang mencari informasi tentang pengadopsian bayi tersebut. Sayekti berlari kencang menuju ruangan kepala rumah bersalin tersebut, ia bersimpuh dihadapannya sambil menitikkan air mata, Sayekti menceritakan tentang kehidupannya dengan harapan agar anaknya tidak diadopsi orang lain dan bisa dibawa pulang bersamanya dan akhirnya kepala rumah bersalin itu tersentuh hatinya oleh tangisan Sayekti lalu ia membatalkan pengadopsian bayi tersebut dan memperbolehkan Sayekti untuk membawa bayinya. Kini Sayekti&Hanafi berbahagia karena pulang ke rumah dengan membawa buah hatinya, senyum dari bibir Hanafi berbinar sambil mengayuh becak yang ditumpangi Sayekti dan bayinya.
Itulah sekelumit perjalanan hidup Sayekti&Hanafi untuk memperjuangkan buah hatinya. Pengorbanan dan perjuangan mereka tidak sia-sia begitu saja.


NB: Tulisan ini ringkasan dari Film “Sayekti Dan Hanafi” tayang pada bulan Juli 2005.
By:
Novianti, S.S

Majmu'atu Syi'iriy..

Untuk Mama

22 Desember 2009
Ma… waktu kecil dulu aku sering merengek meminta uang jajan
Ma… dulu aku sering minta disuapin makan
Ma… dulu aku sering menangis kalau ada orang yang jahil
Ma… dulu kau sering meninabobokan dalam lelapku
Kini aku telah dewasa ma…
Membuatmu tersenyum dan bangga padaku itulah harapanku…
Membuatmu lega dengan tidak selalu merepotkan itulah inginku…
Ma… meskipun kau tak menuntut balas apa yang kau berikan padaku, tetap saja membuatmu bahagia itu kewajibanku…
Ma… cintamu tak akan pernah pupus
Ma… kasihmu sepanjang hayat
Do’amu selalu mengiringi perjalanan hidupku ma…
Tak kan kubiarkan air mata mengalir dari matamu karna kegagalanku
Menjadi putri kebangganmu itulah janjiku…
Trimakasih Ma…

I Love You Mom…


 Dedikasi untuk mamah di “Rorompok” Bandung
Selamat hari Ibu…




Untuk Ibunda…
26 februari 2009

Akhirnya tiba pada suatu masa
Dimana suatu malam…
Angin berhembus begitu kencangnya
Pepohonan melambaikan dedaunan dengan hebatnya
Burung-burung bersiul dengan nada melengking
Lampu-lampu begitu enggan memancarkan cahayanya dengan terang
Hati para jiwa-jiwa yang shalih begitu gelisah
Isyarat alam ini adalah bukti kekuasaan-Nya
Sebagai kabar bahwa:
Pemimpin kita yang arif
Pejuang kita yang lantang menyuarakan ajaran Allah
Ibunda kita yang lembut mencurahkan kasih sayangnya
Pembela kita disaat hati kita terpuruk telah tiada…
Ya, benar Ia tiada…
Ibunda…
Betapa engkau sangat kami rindukan
Sosok ibu yang ramah dan lembut
Sosok istri yang setia
Sosok tauladan yang hebat
Sosok pejuang yang semangat dan tak kenal henti untuk berjuang
Ibunda… terimakasih atas pengorbananmu dalam mendidik dan mengayomi kami
Meski ragamu tak ada namun semangat jiwamu tetap membara
Tenanglah engkau di surga-Nya Ibunda…
Akan kami teruskan perjuanganmu sebagai tanda kasih sayang dan bukti bhakti kami kepada ibunda…


By:
vhie

Nb: Dedikasi untuk Almh. Usth. Hj. Ida Farida Abdullah Syafi’i




Berjalan…
Berawal dari sebuah keinginan, lalu menjadi asa yang kian menjadi
Tanpa terfikir apakah akan berujung bahagia atau bahkan terluka
Ku kayuh perjalanan ini tanpa peduli rintangan apa yang akan menghadang
Tapi kian hari asa itu berubah jadi semu
Keinginan berubah jadi sebuah penyesalan, sesaat memang!,
tapi terus berulang
Kucoba untuk menepis semua perasaan yang membuatku ragu dan aku terus berjalan…
Berjiwa besar! apakah itu solusi terbaik? menerima realita yang ada, pahit atau bahkan manis?
Mungkin itu bisa, tapi tak semudah itu hati ini menerima kenyataan yang ada
Karna aku bukan siapa-siapa
Aku hanya manusia biasa
Menangis ketika bersedih
Tertawa ketika bahagia
Kini… kubiarkan hatiku merasakan semua…
Tanpa menepis perasaan apapun
Lelah kian terasa…
Ya benar! Memang lelah…
Mencoba tuk lupakan semua, tapi tak bisa
Dan kini ku terus berjalan, berjalan mengikuti alur cerita yang pernah kubuat…

By:
vhie



AKU DAN MATAHARIKU
Kamis Petang, 19 februari 2009

Sinarnya terang…
Menyilaukan setiap mata yang memandang
Begitupun dirinya, ia datang membawa sinar harapan
Kuharap kedatangannya membawa sinar terang
Menerangi hatiku yang redup
Kini sinarnya dihatiku,
Sinarnya menguatkan aku…
Sinarnya meyakinkan aku…
Kuharap ia sinarku, matahariku…
Tapi…
Kini sinar itu mulai redup lagi
Harapku untuknya tetap bersinar terang
Namun tak bisa kupaksa, karna…
Sinarnya milik-Nya, hatikupun milik-Nya…
Kini kubiarkan ia menerangi semua
Seperti burung dalam genggaman, kubiarkan ia terbang
Menghirup udara alam bebas untuk kebahagiaannya
Biarlah aku dan matahariku berlalu…

By:
vhie



EPILOG DIRI ...
(30 April 2009)
By: vhie_suradji

Bukan aku yang kau inginkan
Bukan aku yang kau mimpikan
Bukan aku yang kau pujakan
Bukan aku yang kau harapkan
Bukan aku yang kau rindukan
Bukan aku yang kau aku-kan, dan
Bukan aku yang kau tahtakan dalam hatimu
Kesalahanku mengharapkanmu
Kesalahanku merindukanmu
Kesalahanku memanjakanmu
Kesalahanku mengakuimu
Kesalahanku mencintaimu sayang...
Kini bukan KAMU yang AKU tahtakan dalam hati
Tapi AKU...
Karna aku akan selalu dan tetap menjadi DIRIKU sendiri...


Nb: Tentang akhir sebuah penyesalan diri.