"Seorang Muslim, harus sama baiknya antara membaca dan menulis"
(Hasan Al-Bana)

Jumat, 20 November 2009

Ah… Bapak…


“Baru saja berakhir…
Hujan di sore itu
Menyisakan keajaiban
Indahnya kilauan pelangi”


Emmm… suara berisik yang membangunkan tidurku itu lagu “Sahabat kecil” yang dinyanyikan Ipank pada sountrack film “Laskar Pelangi” ternyata ringtone Hand Phone (Hp) ku yang berdering. Tepat di bawah bantalku. Ku rogoh Hpku dan kulihat dengan mata yang masih terkantuk-kantuk. O… disana terdaftar nama “My Father”. Mataku semakin terbelalak setelah melihat jam tepat pukul. 03:00 dini hari.

“Lho… kenapa Bapak jam segini nelfon ya…” gumam dalam hati.
“Hallo… Assalamu’alaikum Pak” Jawabku dengan suara serak, terdengar jelas aku yang baru terbangun dari tidur.
“wa’alaikum salam… anakku yang cantik, pinter, bangun ayo tahajud…” Sapa Bapakku di ujung telfon.
“He he… iya Pak” Aku menjawab dengan nada lemas yang masih terkantuk-kantuk.
”Jam segini ko masih tidur, ayo tahajud nak!!!! Banyak-banyak berdo’a supaya dilancarkan kariernya, didekatkan jodohnya” Bapakku memberi saran.
“He… Iya pak… Ok Ok!!!” Aku menyetujuinya sambil mengangkat dahiku yang sebenarnya malas untuk tahajud he he he, ngantuk adalah alasan utama.
Tapi Bapakku tetap saja merajuk supaya aku bangun dari tidurku.

“Ayo cepat ke kamar mandi ambil wudlu, tahajud ya nak!!!” Perintah bapakku.
“ Iya pak…” Jawabku.
“Ya sudah cepat shalat ya, Assalamu’alaikum” Bapakku mengakhiri obrolannya.
“wa’alaikum salam” Jawabku sambil kutekan tombol merah Hpku untuk mengakhiri obrolan.
***

Emmm… Bapak, bapak… aku jadi kangen sama bapakku. Bapakku asli orang Jawa. Purwokerto. Berwatak keras dan gigih dalam bekerja. Sejak muda bapakku merantau ke kota Priangan. Bandung. Mendapatkan jodoh orang Priangan juga. Tahun 1982 memulai kariernya di Bandung sampai medapatkan 5 putri, putri pertama ya aku ini.

Tahun 2008 karier bapakku terhenti alias di PHK. Ya maklumlah berkarier di pabrikan mau tidak mau harus terima PHK-an. 3 bulan mengangur (alhamdulillah mengangur Cuma 3 bulan), ternyata skill bapak di bidang mesin rajut masih ada yang membutuhkan. Tepat di bulan Desember 2008 bapak dapat panggilan kerja di perusahaan yang membuat kain khusus boneka di Serang Banten. Tanpa fikir panjang bapak langsung menerima panggilan kerja tersebut, karena yang selama ini bapak khawatirkan mengenai Ijazah untuk melamar pekerjaan sangat dibutuhkan. Sedangkan bapakku? Jangankan Ijazah S1, Ijazah SMP saja tidak punya. Maklumlah dulu bapak Cuma tamatan sekolah SR (Sekolah Rakyat).

Bapakku sering bilang:
“Pendidikan boleh tamatan SR… tapi otak harus otak S1 tho…”
“Badan boleh made in Indonesia tapi otak? harus otak Jerman donk ha ha ha…” dengan logat Jawanya yang medok dan Pedenya, begitulah bapakku dengan nada sindiran menyemangati anak-anaknya setiap pertemuan rutin keluarga, dan selalu begitu juga bapakku menyindir sambil bergurau.

Kata-kata itupun selalu menjadi andalan bapak untuk menyemangati putri-putrinya supaya terus semangat untuk melanjutkan studi. Mengingat bapakku yang hanya tamatan SR dan bercita-cita menyekolahkan anak-anaknya minimal sampai lulus S1.

Ah… bapak meski usia merayap senja tapi bapakku ini ya tetep guanteng he he… kini bapakku bekerja di Serang Banten jauh dari rumah, hanya alat komunikasi hp yang memudahkan kami berkomunikasi sehinnga satu sama lainnya mengetahui kegiatan masing-masing anggota keluarga kapan saja dibutuhkan.

Ah… Bapak My Beloved father…
Ah… Bapak aku kangen pak…

Mungkin lebaran haji nanti kita bersua di rumah…


Nb: Tulisan ini buat my beloved bapakku wong Jowo "Dartam Suradji"

Sabtu, 07 November 2009

Kabar "MOMOYE" dari Asrama Telawang


Wanita senja itu bernama Mardiyem, kini ia mulai membuka hatinya pada wartawan yang ingin mencari berita tentang sejarah Jugun Ianfu (budak seks) 64 tahun silam. Pada awalnya Mardiyem enggan untuk menceritakan apa yang terjadi saat ia dan teman-teman yang lainnya (3 angkatan Jugun Ianfu) menjadi penghuni asrama Telawang sejak tahun 1942-1945 pada masa penjajahan Jepang dalam perang Dunia II terjadi. Kulit keriput namun berparas ayu menunjukkan usianya yang senja dan tubuh yang renta berbalut kebaya dari kain jarik khas jawa itu sesaat menghela nafas, lalu matanya berkaca-kaca saat menceritakan apa yang terjadi selama menjadi penghuni asrama Telawang. Ia merasakan kepedihan yang sangat mendalam, kepedihannya mewakili perasaan para Jugun Ianfu.

Saat itu Mardiyem berusia 13 tahun. Sepeninggalan ayahnya ia memutuskan pergi dari rumahnya di Yogyakarta ke Borneo untuk bekerja, ia bertekad untuk tidak menjadi beban kakak-kakaknya yang kehidupannyapun sangat sulit. Dan pada saat itu ia mendapat tawaran bernyanyi di Borneo. Tanpa fikir panjang ia menerima tawaran tersebut. Bukan hanya Mardiyem yang akan bekerja di Borneo, ternyata ia pergi bersama rombongan perempuan lainnya dari berbagai daerah.

Sebelum diberangkatkan ke Borneo rombongan dibawa ke kampung Penembahan Yogyakarta dan ditempatkan ke sebuah klinik, kemudian rombonganpun satu persatu diperiksakan kesehatannya oleh dokter. Didalam klinik tersebut terdapat seorang Dokter dan seorang asisten, dan satu orang Jepang pada saat itu Mardiyem mulai curiga dan merasakan adanya keanehan. Setelah sampainya di Borneo Mardiyem merasakan firasat buruk akan terjadi, kemudian Mardiyem dan rombongan ditempatkan di sebuah bangunan yang cukup tertata rapi, disana banyak orang Indonesia yang tampaknya berperan sebagai petugas atau pekerja. Bangunan itu bernama Asrama Telawang. Selain banyak orang Indonesia ternyata disana juga orang banyak Jepang. Mardiyem dan rombongan teman-teman yang lainya di tempatkan disetiap kamar berukuran 3m x 2,5 m, dan setiap pintu kamar terdapat nomor yang berurutan sesuai dengan banyaknya kamar dari nomor 1 sampai nomor 24. Saat itu Mardiyem menempati kamar 11.

Firasat buruk itu mulai terbukti, Mardiyem dan teman-teman yang lainnya merasa akan dijadikan “perempuan nakal”, kekecewaan menggelayuti hati mereka saat itu, padahal pada awal keberangkatan dari Yogyakarta menuju Borneo Mardiyem dan teman-teman yang lainnya membawa banyak harapan dan impian, rela meninggalkan rumah demi mendapatkan kehidupan yang layak untuk keluarga dikampungnya. Mardiyem berharap menjadi penyanyi di Borneo sesuai dengan tawaran yang dijanjikan Zus Lentji (ia seorang perempuan yang dikenal Mardiyem melalui Mbak Soerip) dengan rasa berat hati Mardiyem pasrah terhadap apa yang terjadi. Bukannya tidak ada pemberontakan untuk keluar dari asrama itu, akan tetapi asrama Telawang dijaga dengan ketat dan diawasi oleh para Jongos (pesuruh) Cikada, dari mulai gerbang utama sampai kamar-kamar yang mereka tempati. Pada hari liburpun biasanya mereka pergi berbelanja dengan dikawali para jongos cikada. Tak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diridari asrama ini.
Asrama telawang dikelola oleh orang jepang bernama Cikada. Dia yang mengatur segala keperluan penghuni asarama Telawang, dibantu dengan para Jongos-nya dari mulai mengatur kesejahteraan para pegawai dan kesejahteraan para Jugun Ianfu, ia juga mengatur keluar dan masuknya para tentara Jepang yang ingin melampiaskan hawa nafsunya di asrama Telawang pada gadis-gadis yang telah ditempatkan di setiap kamar. Para tentara Jepang memesan nama dan nomor kamar yang tertera di papan dengan tulisan Jepang di ruang karcis asrama Telawang, nama yang tertera di papan tersebut berikut dengan nomor kamarnya adalah para Jugun Ianfu yang sehat dan siap untuk melayani seks mereka, kemudian mereka diberikan karcis untuk masuk kamar sesuai dengan nomor kamar yang telah dipesan dan ditambah 2 Kaputjes untuk 1x masuk kamar.

Sejak menempati asrama Telawang nama Mardiyem berubah menjadi “MOMOYE”. Saat itu nama Momoye yang berparas hitam manis dibalut dengan kebaya dari bahan kain jarik khas jawa nampak lebih ayu menjadi sorotan para tentara Jepang, dan tidak aneh seluruh penghuni asrama telawang mengenali MOMOYE. Walaupun Momoye melayani nafsu para tentara Jepang setiap harinya, tapi Momoye selalu merawat tubuhnya terutama merawat kelaminnya dengan minum jamu agar tidak terserang penyakit kelamin tau penyakit wanita yang diberikan oleh ibu angkat Momoye, namanya ibu Nur. yang berbaik hati pada Momoye dengan sembunyi-sembunyi.

Setiap harinya Momoye dan teman-teman yang lainnya mendapat perlakuan kasar dari para tentara Jepang yang ingin memuaskan nafsunya dengan para Jugun Ianfu. Yang sering memperlakukan kasar saat berhubungan intim adalah tentara Jepang yang berpangkat rendah yang baru datang dari pertempuran atau baru pulang dari patroli, karena usia mereka rata-rata masih muda sedangkan yang berpangkat tinggi atau sipil tidak berlaku kasar. Para tentara yang datang ke asrama Telawang adalah sebagai tamu. Dan tamu yang datang tidak sembarangan diizinkan untuk masuk ke kamar-kamar. Jam kunjungan berlaku di asrama tersebut, adapun jam tamu siang hari pada pukul 12.00–17.00 khusus untuk serdadu pangkat rendah Jepang dengan karcis seharga 2,5 Yen. Dan jam tamu sore hari pukul 17.00–24.00 khusus untuk orang sipil Jepang dengan harga krarcis 3,5 yen. Sedangkan Mulai pukul 24.00 sampai pagi dikenakan karcis seharga 12,5 Yen. Pada jam tersebut biasanya dipakai oleh serdadu Jepang berpangkat perwira.

Momoye pernah mengalami pengguguran paksa terhadap kandungannya, selama melayani seks para tamu tentara Jepang, mereka menggunakan Kaputjes, hanya satu tamu tetap Momoye yang tidak mggunakan kaputjes yaitu Yamauchi. Yamauchiadalah laki-laki pertama yang menyatakan cinta pada momoye. Dari hasil hubungannya tanpa diduga akhirnya Momoye hamil, awalnya berita ini ditutupi agar tidak diketahui Cikada namun akhirnya sampai juga ke telinga Cikada. Momoye disarankan meminum obat penggugur kandungan, namun setelah satu minggu berlalu bayi dalam kandungan Momoye tidak mau keluar, Cikadapun memutuskan untuk membawa Momoye ke Rumah Sakit Ulin untuk dioperasi karena kehamilannya sudah menginjak 5 bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setelah perut Momoye diplenet atau ditekan paksa, seluruh badannya sakit dan lemas. Momoye merasa sangat berdosa karena tidak bisa mempertahankan darah daging sendiri. Yamauchi sempat menengok Momoye di rumah Sakit Ulin, dia meminta maaf karena membuatnya menderita dengan kehamilannya. Karena Yamaucilah penyebab Momoye hamil dan digugurkan paksa. Yamauchi memang meninginkan Momoye hamil agar Momoye bisa dikeluarkan dari asrama Telawang, sehingga Momoye dan Yamauchi bisa menikah dan hidup bersama. Itulah alasan Yamauchi jarang menggunakan Kapotjes saat berhubungan seks dengan alasan kurang nikmat.

Pada tahun 1945 Jepang kalah. Di beberapa bulan pada tahun 1945, sering terdengar bunyi bom berjatuhan di sekitar asrama. Situasi makin gawat. Bom dijatuhkan dimana-mana, Cikada dan orang-orang Jepang lainnya menghilang. Akhirnya Momoye memutuskan untuk mengungsi ke Kapuas. Disana Momoye bertemu dengan Amat Mingun. Amat Mingun adalah laki-laki yang selama ini menaruh hati pada Momoye sejak berada di asrama telawang. Saat itu Amat mingun bertugas mengantarkan sayuran ke asrama Telawang untukkebutuhan penghuni asrama Telawang. Amat Mingun melamar Momoye berkali-kali namun Momoye menolaknya. Momoye mati rasa setelah ia mengalami trauma di asrama Telawang. Pada tahun 1946, akhirnya Momoye memutuskan untuk menrima lamaran amat mingun kemudian menikah, meskipun tidak ada perasaan cinta yang tersisa, semuanya telah hancur di Asrama Telawang. Momoye tidak mencari cinta yang ada hanya butuh kasih sayang dan perlndungan. Pernikahannya dengan Amat Mingun dikaruniai satu anak lelaki bernama “Mardiyono”.

Pada tahun 1953 Momoye dan keluarga kembali pulang ke Yogyakarta. Di Yogyakarta nama Mardiyem bukanlah Momoye lagi, akan tetapi para tetangga yang mengenal Mardiyem memanggilnya dengan sebutan Mak Inun. Sebetulnya nama Mardiyem di kampung adalah Mak Mingun, tetapi Mardiyono kecil tidakbisa memanggil nama Mak Mingun dengan jelas. Jadi yang terdengar hanya Mak Inun… Mak Inun… dan semua tetangga memanggilnya Mak inun.

Pada tahun 1993 Mardiyem memutuskan untuk mendaftar sebagai perempuan korban Jepang di LBH Yogyakarta. Sejak saat itu masalah mulai berdatangan. Ketika masyarakat tahu bahwa Mardiyem adalah salah satu wanita pemuas seks para tentara Jepang (Ransum Jepang) mereka mulai mencibir, mengejek, menjauhi Mardiyem dalam pergaulannya. Sejak saat itu juga keahliannya dalam memasak pada setiap acara tidak pernah diberikan upah bahkan tidak jarang untuk menggunakan jasanya lagi, sampai Mardiyem kehilangan pekerjaannya. Hal itu membuatnya sangat menderita.

Penghinaan demi penghinaan ia lewati sampai tahun 2000. suatu ketika dalam sebuah acara kemerdekaan panitia acara tersebut memintanya utuk menceritakan yang sebenarnya terjadi dan dialami pada zaman penjajahan Jepang dalam Perang dunia II. Saat itu Mardiyem bersedia. Pada pertemuan tersebut Mardiyem mengatakan “Jangan mencapku sebagai “Orang nakal” atau “Pelacur”. Aku adalah korban jepang. Pada waktu zaman Jepang tidak ada pilihan lain bagi para remaja selain menjadi ransum Jepang atau romusha”. Maka setelah pernyataan Mardiyem diceritakan, Masyarakat mulai berubah, tidak lagi banyak yang mengejek dan menjauhinya, keadaanpun mulai membaik.

Pada tahun 2007 tepatnya tanggal 20 Desember pukul 22:30 WIB, pejuang hak dan mantan “Jugun Ianfu” ini meninggal dunia karena sakit dikediamannya Suryotaruman Yogyakarta. Jugun Ianfu adalah salah satu kepahitan sejarah yang lama terlupakan. Bahkan mungkin tidak akan pernah terungkap jika Mardiyem tidak ingin menceritakan semuanya yang terjadi.

Inilah salah satu potret kehidupan korban penjajahan Jepang dalam Perang Dunia II. Ini adalah BUKTI SEJARAH dan tidak boleh dilupakan, karena kita adalah bagian dari sejarah itu sendiri.

By:
Novianti Suradji, S.S




NB:
Tulisan ini didekasikan untuk semangat para perempuan yang tak pernah lelah berjuang dalam menjalani perannya sebagai “PEREMPUAN”.

Resensi Buku



Judul Buku : MOMOYE Mereka Memanggilku; Biografi Sejarah Jugun Ianfu Indonesia.
Penulis : Eka Hindra dan Koichi Kimura
Editor : Esthi Damayanti & Theresia Vini S
Penerbit : Esebnsi Erlangga Group, Jakarta
Cetakan : Kedua, Tahun 2007
Tebal : 324 Halaman

MOMOYE alias Mardiyem (mantan Jugun Ianfu Indonesia) adalah salah satu korban penjajahan Jepang pada Perang Dunia II. Kesedihannya saat menjadi ransum (makanan) Jepang masih saja terbayang-bayang dalam fikirannya. Hal itu yang menyebabkan Mardiyem terus mencari keadilan pada Pemerintah Jepang sampai akhir hayatnya.
Menjadi Jugun Ianfu bukanlah cita-cita yang diinginkan Mardiyem, bahkan jauh dalam fikirannya Mardiyem tidak pernah terlintas untuk menjadi Jugun Ianfu. Secara harfiah “Jugun Ianfu” berarti: Ju= Ikut, Gun= Militer/balatentara, Ian= Penghibur, dan Fu= Perempuan. Jugun Ianfu merupakan istilah halus untuk para perempuan-perempuan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks yang ditempatkan dibarak-barak militer atau bangunan yang dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik.

Awal perjalanan Mardiyem menjadi Jugun Ianfu pada tahun 1942, saat itu umurnya 13 tahun. Ia memutuskan pergi dari Yogyakarta untuk bekerja di Borneo sepeninggalan ayahnya. Kepergiannya ke Borneo adalah awal penderitaannya. Menjadi pemain sandiwara, itulah cita-citanya. Melalui Zus Lentji Mardiyem mendapatkan tawaran untuk menjadi pemain sandiwara. Namun harapan hanyalah tinggal harapan. Sesampainya di Borneo Mardiyem bukan dijadikan pemain sandiwara, bahkan tidak sesuai dengan yang ditawarkan Zus Lentji. Mardiyem dan para Jugun Ianfu lainnya menjadi ransum Jepang melayani kebutuhan seks para militer Jepang di asrama Telawang.

Para Jugun Ianfu melayani kebutuhan seks mereka setiap harinya, dan setiap orang ‘Jugun Ianfu” melayani 6 atau 8 orang tentara Jepang, jika meraka tidak mau melayaninya maka siksaanlah yang akan didapatnya dari pengelola asrama Telawang bernama Cikada. Penderitaan ini berlangsung selama 4 tahun 1942-1945.
Nama Mardiyem selama menjadi penghuni asrama Telawang berubah menjadi MOMOYE, mulai saat itu penghuni asrama memanggilnya MOMOYE, dan nama Mardiyem hilang ditelan asrama Telawang.

Setelah Jepang kalah, aktifitas di asrama Telawang tidak begitu ramai seperti biasanya, orang Jepang mulai hilang dan tidak pernah datang ke asrama telawang. Mardiyempun pergi dari asrama Telawang menuju Kapuas disana mardiyem bertemu dengan Amat Mingun yang menjadi suaminya, dari pernikahannya melahirkan 1 orang anak lelaki bernama Mardiyono. Kemudian Mardiyem dan sekeluarga kembali pulang ke yogyakarta.

Pada tahun 1993 Mardiyem mendaftarkan diri ke LBH Yogyakarta sebagai perempuan korban penjajahan Jepang. Sejak saat itu masyarakat tahu tentang masa lalu Mardiyem dan tak jarang masyarakat banyak yang menjauhi, mengejek, dan menghinanya. Penghinaan demi penghinaan ia lewati sampai tahun 2000, Mardiyem menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada para Jugun Ianfu saat penjajahan Jepang dalam sebuah acara kemerdekaan yang diminta oleh panitia acara tersebut. Setelah Mardiyem menceritakan semuanya, masyarakatpun akhirnya mengetahui apa yang terjadi pada Mardiyem dan para Jugun Ianfu lainnya. Masyarakat mulai berubah sikap dan sejak saat itu keadaanpun mulai membaik.

Buku ini secara gamblang menceritakan sejarah Jugun Ianfu korban penjajahan Jepang dalam perang dunia II pada tahun 1942-1945. Melalui penuturan Mardiyem (salah satu mantan Jugun Ianfu) ia menceritakan masa lalunya sebagai penghuni asrama Telawang. Dari mulai masa kecil seorang Mardiyem, keberangkatannya menuju Borneo, kehidupannya di asrama Telawang, dan sampai pada pencarian keadilan para jugun Ianfu. Buku ini benar-benar lengkap memaparkan informasi kejadian dengan didukung gambar dan foto-foto dari narasumber yang bersangkutan.

Namun pada akhir buku ini tidak menceritakan secara utuh akhir dari perjalanan Mardiyem dalam mencari keadilan. Pada bab akhir buku ini dilengkapi pemaparan penulis tentang asal-usul pendirian sistem Jugun Ianfu.

Buku ini sangat membantu para pembaca yang tidak mengetahui sama sekali informasi tentang Jugun Ianfu. Atau bahkan menjadi referen tambahan bagi yang ingin mengetahui sejarah penjajahan Jepang pada perang Dunia II. Dan kemunculan buku ini patut diacung-i jempol dan dihargai sebagai referen tambahan dan menu wajib bacaan bagi para Nasionalis atau terutama bagi para perempuan yang tetap semangat memperjuangkan haknya sebagai perempuan.

Sejarah bukan untuk dilupakan karena kita lahir dan hidup dari sejarah itu sendiri.

By:
Novianti Suradji (vhie_suradji@yahoo.co.id)